Cerpen : WHO AM I ?
Tidak seperti biasanya, kali ini saya akan menulis cerpen. Cerpen ini ber-genre misteri, horror, dan thriller. Sebelumnya saya minta maaf jika ceritanya kurang menarik atau bahasa yang saya gunakan kurang bagus. Karena saya seorang pemula dan ini karya pertama saya. Silahkan menikmati.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, seorang ibu berjalan menyusuri hutan yang lebat. Wajahnya penuh dengan keringat. Dia terus meneriakkan nama anaknya. "Di mana kamu? Sekarang sudah sore. Saatnya kita pulang"
Dia berjalan mengikuti jejak kaki yang terlihat di atas tanah yang basah dan berlumpur. Dia terus berjalan dan memanggil anaknya walau dia tahu bahwa tubuhnya sudah tidak kuat untuk berjalan karena dia sudah mulai kelelahan.
Dia berjalan sampai ke sebuah tempat. Di sana dia melihat seorang anak laki-laki bertelanjang dada. Anak itu berdiri menghadap sebuah rumah bambu kecil. Dia membawa sebuah pisau besar di tangannya. Nafasnya tidak teratur dan mengeluarkan suara geraman.
Dengan rasa takut, ibu itu bersembunyi di balik pohon. Dia mulai mendekati anak itu dengan perlahan. Dia mencoba memanggil anak itu. "apa itu kau? Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo kita pulang" Ucap ibu itu dengan suara lirih.
Saat ibu itu memegang pundaknya, seketika anak itu berbalik dan.....
"Aaaaaa.........."
-
Namaku Aji. Aku baru saja pindah ke rumah baruku. Ini adalah rumah istriku yang bari saja aku nikahi. Kami tinggal di sini bersama Rekta, anak istriku dari pernikahannya yang pertama. Umurnya baru sebelas tahun. Dia adalah anak yang manis dan tidak nakal. Walau sebenarnya aku kurang akrab dengannya. Seolah dia selalu menjauh dariku. Mungkin dia tidak suka aku menikahi ibunya. Dia tidak mau punya ayah baru.
Hari ini istriku pergi ke luar kota. Dia meninggalkanku sendirian bersama Rekta. Aku mencoba untuk mendekatinya dan bermain dengannya. Namun dia tetap menjauhiku. Dia memilih sendirian. Mungkin dia tidak suka denganku.
Malam ini begitu dingin tidak seperti biasanya. Aku tertidur pulas dengan guling empuk yang kupeluk dan selimut tebal yang menghangatkan tubuhku. Kurasa ini adalah tidur paling nyaman yang pernah kurasakan.
Sampai suatu saat, aku mendengar suara geraman dari halaman belakang. Suara itu membuatku terbangun. Saat kubuka mataku, aku tidak dapat melihat apa-apa. Aku mencoba meraih sakelar lalu menyalakannya, namun tidak bisa. Aku heran, kenapa di kota sebesar ini masih ada pemadaman listrik.
Aku meraba-raba meja di samping tempat tidurku untuk mencari senter. "Aku tadi menaruhnya di sini" pikirku.
Setelah mencari-cari, akhirnya kutemukan senter itu. Kucoba menyalakannya, dan ternyata senter ini masih berfungsi. Namun cahayanya mulai meredup. Kupukul-pukul senter itu dengan tanganku hingga cahayanya terang kembali.
Aku tetap mendengar suara itu. Suaranya seperti seorang kakek-kakek yang menggeram. Kurasa aku harus melihatnya. Mungkin dia butuh pertolongan.
Aku keluar dari kamarku. Kulihat kamar Rekta belum tertutup. Kuarahkan senterku ke kamarnya. Sepertinya Rekta tidak ada di sana. Aku memasuki kamar itu lalu kucari dia di segala sudut ruangan. Dia benar-benar tidak ada di sini. Aku mulai takut.
"Rekta, di mana kamu?" Aku memanggil anak itu. Namun tidak ada tanda akan keberadaannya. Mungkin aku harus ke halaman belakang untuk melihat sumber suara itu.
Suara itu mulai terdengar jelas saat aku berjalan mendekatinya. Aku mulai ketakutan, tanganku gemetar memegang senter.
Aku mengintip dari jendela untuk melihat sumber suara itu. Dengan hati-hati, aku melirik ke arah halaman belakang.
Aku kaget ketika melihat ada seorang anak laki-laki di sana. Dia hanya mengenakan celana pendek. Suara itu datang dari mulut bocah itu. Dia memegang sebuah pisau di tangannya.
Muncul pertanyaan di benakku. Siapa dia? Apakah dia Rekta? Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia tidak menghadap ke arahku. Satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan itu adalah dengan mendekatinya lalu melihat wajahnya.
Dengan kaki yang masih bergetar karena ketakutan, aku memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendekatinya. Aku harus hati-hati. Aku tak mau dia melukaiku dengan pisau yang dipegangnya.
"Rekta, apa itu kau?" kataku.
Anak itu berbalik dan memperlihatkan wajahnya kepadaku. Dia adalah Rekta. Aku sangat kaget ketika dia menunjukkan wajahnya yang menyeramkan. Wajahnya begitu merah. Pembuluh darahnya terlihat di seluruh wajahnya sampai ke lehernya. Bola matanya putih semua. Bibirnya hitam kemerahan. Dia meringis dan meneteskan air liur dari mulutnya.
Karena kaget, aku tak sengaja menjatuhkan senterku. Senter itu membentur tanah sampai tidak dapat berfungsi lagi. Sekarang hanya cahaya bulan dan kilatan petir yang dapat menerangi halaman belakang.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.
"Apti.." Kata anak itu dengan suara menderik. Ketika dia mengucapkan kata itu, kepalaku langsung pusing. Telingaku berdengung. Kupegangi kepalaku dengan kedua tanganku.
"Kenapa? Mulai ingat sesuatu?" tanya anak itu.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanyaku.
"Aku sama seperti dirimu. Aku merasuki tubuh manusia"
"Kalau begitu keluar dan lepaskan dia"
"Rupanya kamu benar-benar lupa" kata anak itu.
"Apa maksudmu?"
"Aji sudah mati. Kau membunuhnya bersama ibunya"
"Aku tidak membunuh ibuku. Bukan aku yang membunuhnya"
"Coba ingat kembali. Kau merasuki tubuh seorang anak yang tak berdaya, lalu kau bunuh ibunya. Kamu pasti ingat itu, Apti"
"Tidak mungkin. Aku bukan Apti. Namaku Aji"
"Rupanya kau sudah membaur dengan dunia manusia. Kau lupa siapa dirimu sebenarnya. Coba lihat kaca itu" kata anak itu sambil menunjuk kaca jendela.
Aku memandang kaca itu. Saat kilatan petir menyambar, cahayanya merefleksi wajahku ke kaca itu seperti cermin. Aku melihat wajahku menyeramkan di kaca itu. Wajahku seperti anak itu.
"Itu adalah wajah aslimu"
"Tidak mungkin" kataku.
Aku takut dengan pisau yang dia pegang. Aku harus menyingkirkannya. Kubuat anak itu terus berbicara, lalu aku akan mendekatinya dan mengambil pisaunya.
"Apa maumu?" tanyaku.
"Keabadian. Hidup selamanya di tubuh manusia. Seperti dirimu"
"Aku tidak merasa abadi"
"Kau telah membunuh anak itu dan kau masih bisa mengendalikan tubuhnya. Tubuhnya tidak membusuk atau rusak. Bahkan tubuh itu masih bisa tumbuh seperti manusia normal. Namun pertumbuhan itu akan berhenti di usia empat puluh tahun. Itulah keabadian"
"Maksudmu aku tidak bisa mati? Lalu apa yang akan kau lakukan pada Rekta?"
Dia mengangkat pisaunya, lalu mengarahkan pada lehernya. Pisau itu mulai menyentuh kulitnya. Sedikit goresan dan keluar darah dari kulitnya. Darah itu mengalir sampai dada anak itu. Dia berkata "Aku akan membunuhnya. Seperti yang kau lakukan pada Aji"
Tidak.. Dia akan membunuh Rekta. Aku tidak boleh diam saja. Aku harus menyelamatkannya. Kurebut pisau itu, namun dia terlalu cepat. Dia malah menodongkan pisaunya kepadaku. Kupegang tangannya dan kudorong agar pisau itu tidak melukaiku. Kita berdua saling mendorong pisau itu.
Tiba-tiba dia menendangku sampai aku jatuh tersungkur di tanah yang basah. Dengan cepat, dia langsung melompat dan menginjak perutku. Aku teriak kesakitan. Dia mengangkat tinggi-tinggi pisau itu, lalu menusukkannya ke dadaku. Aku berteriak tak berdaya. Darahku muncrat dengan deras dan membuat dia basah dengan darahku. Dia menusukku sampai sepuluh kali.
"Jangan takut mati. Kamu abadi" katanya.
Kumuntahkan darahku ke wajahnya. Sekarang wajahnya menjadi lebih merah. Dia membersihkan darah yang mengotori wajahnya itu dengan tangannya.
"Kurasa sudah cukup. Sekarang waktunya kau mati" katanya.
Dia menusuk-nusuk leherku dan memenggalnya sampai putus. Darahku keluar deras dari potongan kepalaku dan leherku. Lalu dia sedikit menendang kepalaku sampai terguling beberapa meter. Darah yang kukeluarkan membuat tanah di halaman belakang menjadi berwarna merah.
Mataku masih terbuka. Aku masih dapat melihat. Mungkin dia benar. Aku abadi. Aku melihat tubuhku di sana. Terbujur kaku penuh dengan darah.
Aku melihat anak itu seperti melakukan sesuatu di sana. Sepertinya dia menggambar sesuatu tepat di tanah tepat di atas leherku. Seharusnya kepalaku ada di sana. Dia menanam pisau itu di sana. Dengan ujungnya yang tajam menghadap ke atas. Dia memegang-megang pisau itu, memastikan pisau itu tertanam kuat di tanah.
Lalu dia berdiri memandangi pisau itu. Dia berbalik badan dan memandangi bulan di langit. Dia maju beberapa langkah.
Dia menoleh ke arah potongan kepalaku dan tersenyum kepadaku. Dia menujukkan wajahnya yang menyeramkan. Dia memejamkan matanya. Wajah itu perlahan memudar. Rekta sudah kembali. Wajah menyeramkan itu sudah hilang.
Lalu dia menjatuhkan dirinya ke belakang. Gaya gravitasi menarik tubuhnya ke bawah. Pisau itu menusuk dan menembus dadanya. Darahnya muncrat ke mana-mana. Dia berteriak dengan suara aslinya. Tubuhnya kejang-kejang. Dia berusaha untuk melepaskan pisau itu. Namun dia tak bisa. Tubuhnya sudah tidak bergerak lagi. Teriakannya juga mulai hilang. Mungkin dia sudah mati.
Pandanganku mulai pudar. Semua menjadi gelap. Aku tidak bisa melihat. Yang bisa kulakukan hanya mendengar suara hujan yang semakin deras.
-
Kubuka mataku dan kulihat cahaya matahari yang terhalang kabut tipis. Ini sudah pagi. Cahaya itu menyilaukan mataku. Kuhalangi cahaya itu dengan tanganku. Aku sadar tubuhku telah kembali. Aku bangun dan memeriksa tubuhku. Aku tidak melihat bekas luka apa pun di tubuhku. Namun bajuku penuh dengan darah dan lumpur. Tanah dan rumput di halaman ini juga masih merah penuh darah yang bercampur dengan air hujan.
"Di mana Rekta?" tanyaku dalam hati. Aku masih melihat ada pisau yang tertancap di tanah. Pisau itu masih berdarah.
Sebaiknya aku mencari anak itu. Pintu rumah tidak tertutup, mungkin dia masuk ke sana. Aku masuk ke rumah itu. Keadaanku masih sangat kotor dengan lumpur dan darah. Aku meninggalkan jejak di lantai. Sebaiknya aku mandi dulu. Aku tidak mau mengotori rumahku. Dengan kaki jinjit, aku berjalan menuju kamar mandi.
Semua darah dan lumpur di tubuhku hanyut bersama air yang kusiramkan ke tebuhku. Dengan sabun dan sampo, tubuhku kembali bersih. Kukeringkan tubuhku dengan handuk. Lalu kukenakkan handuk itu ke tubuhku seperti sarung.
Kupandangi wajahku di dalam cermin yang terpasang di kamar mandi. Kulihat tidak ada luka sedikit pun di dada dan leherku.
"Siapa aku?" aku bertanya pada bayanganku sendiri di cermin.
"Keluarkan wajah aslimu Apti. Ayo keluarlah!"
Tidak ada sesuatu yang terjadi setelah aku meneriakkan kata-kata itu.
"Mungkin ini semua hanya mimpi" kataku dalam hati.
Aku melihat dari cermin, pintu kamar mandi terbuka dengan sendirinya. Aku melihat Rekta berdiri di luar kamar mandi. Dia berdiri menghadap ke arahku dengan kepala menghadap ke bawah. Tubuhnya diselimuti handuk dari pundak sampai kaki. Tangan kanannya memegang salah satu ujung handuk dan meletakkannya di dadanya. Seolah menyembunyikan sesuatu di balik handuk itu.
Anak itu berjalan ke kiri. Mungkin dia mau ke halaman belakang.
Saat aku berbalik, anak itu sudah menghilang. Mungkin dia hanya terlihat di cermin.
Aku pergi ke halaman belakang untuk menemui anak itu. Saat aku ada di sana, darah dan pisau itu sudah hilang. Jejakku di lantai yang kubuat tadi juga sudah tidak ada. Rekta juga tidak ada di sini. Padahal aku baru saja melihat dia berjalan ke sini. Apa yang sedang terjadi? Mungkinkah ini cuma mimpi? Tapi ini begitu nyata.
Aku mendengar suara ketukan pintu. Suara itu datang dari ruang tamu. Saat aku menuju ruang tamu, aku mendengar suara seorang perempuan yang sedang memanggil namaku. Itu pasti istriku. Kubuka pintu itu, lalu dia bertanya "Kenapa kamu kunci pintunya?"
"Maaf sayang. Aku baru mandi"
"Di mana Rekta?" tanya istriku.
"Aku.. aku.. aku mau cerita sesuatu ke kamu"
"Cerita apa?"
"A... ak... aku... aku... " kataku dengan gagap.
Belum sempat aku mengatakan kata sedikit pun, Rekta langsung datang. Dia masih mengenakan handuk itu. Seperti yang kulihat beberapa saat lalu.
Dia mendekati ibunya dan berkata "Ibu lama sekali"
"Maafkan ibu nak. Kemarin aku sangat sibuk. Kenapa kalian belum pakai baju? Kalian baru mandi bareng ya?" tanya istriku.
"Tidak" jawabku.
"Apa yang ada di tas itu?" tanya Rekta sambil menunjuk tas belanjaan yang dibawa ibunya.
"Ibu punya hadiah untukmu. Sekarang tutup matamu"
"Oke.."
Rekta menutup matanya. Dia tersenyum dan tak sabar ingin melihat hadiah yang diberikan oleh ibunya.
Istriku mengeluarkan sesuatu dari tas itu. Itu adalah sebuah kaos berwarna merah.
"Ini pasti cocok untuknya" kataku.
Mendengar aku berbicara, istriku langsung menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Sebuah isyarat yang artinya "Jangan berisik".
"Jangan mengintip sayang" kata istriku. Dia menunjukkan kaos itu ke depan Rakta yang masih menutup mata.
"Sekarang, buka matamu"
Rekta mulai membuka mata dan dia terlihat sangat gembira melihat hadiah yang diberikan oleh ibunya itu.
"Wow.. ini bagus sekali. Boleh aku pakai sekarang?" tanya Rekta.
"Tidak sayang. Aku mau kamu memakai itu di acara besok" kata istriku.
"Padahal aku sangat ingin memakainya"
"Sekarang aku ambilkan baju yang lain ya, kamu tunggu di sini" kata istriku. Dia menaruh semua barang yang dia bawa ke meja. Lalu dia pergi untuk mengambil baju untuk anaknya.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Sementara Rekta masih berdiri menunggu ibunya. Aku memandangi anak itu. Dia terlihat pucat. Setelah kulihat-lihat, aku sadar ada yang aneh dengannya. Dari tadi dia tidak pernah melepaskan tangannya dari dadanya. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dari handuk itu.
Tanpa basa basi, aku menarik handuk itu sampai jatuh ke lantai. Saat dia telanjang bulat, aku tidak melihat apapun di dadanya. Tidak ada luka atau bekas tusukan.
Dengan gerak refleks, dia langsung mengambil handuknya yang terjatuh lalu memakainya di tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan?" katanya.
"Maaf" kataku.
Lalu dia duduk di sampingku.
"Sekarang sudah jam delapan. Kamu tidak sekolah?" tanya Istriku yang sedang mencari sesuatu di lemari.
"Ini kan hari minggu" kata Rekta.
"Mungkin kamu harus banyak istirahat sayang" kataku pada istriku.
Tak lama kemudian, istriku berteriak seperti melihat sesuatu yang menakutkan.
"Aaaaa.... Darah apa ini?" teriak istriku.
Aku langsung berdiri dari dudukku. Aku ingin menemui istriku. Namun Rekta mengambil dan menggenggam tanganku dengan erat. Aku menoleh ke belakang untuk melihatnya. Aku sangat kaget ketika melihat wajahnya kembali menyeramkan.
Dia memandang ke arahku dan berkata "Semua ini bukan mimpi Apti"
Tamat
Dengan nafas yang tersengal-sengal, seorang ibu berjalan menyusuri hutan yang lebat. Wajahnya penuh dengan keringat. Dia terus meneriakkan nama anaknya. "Di mana kamu? Sekarang sudah sore. Saatnya kita pulang"
Dia berjalan mengikuti jejak kaki yang terlihat di atas tanah yang basah dan berlumpur. Dia terus berjalan dan memanggil anaknya walau dia tahu bahwa tubuhnya sudah tidak kuat untuk berjalan karena dia sudah mulai kelelahan.
Dia berjalan sampai ke sebuah tempat. Di sana dia melihat seorang anak laki-laki bertelanjang dada. Anak itu berdiri menghadap sebuah rumah bambu kecil. Dia membawa sebuah pisau besar di tangannya. Nafasnya tidak teratur dan mengeluarkan suara geraman.
Dengan rasa takut, ibu itu bersembunyi di balik pohon. Dia mulai mendekati anak itu dengan perlahan. Dia mencoba memanggil anak itu. "apa itu kau? Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo kita pulang" Ucap ibu itu dengan suara lirih.
Saat ibu itu memegang pundaknya, seketika anak itu berbalik dan.....
"Aaaaaa.........."
-
Namaku Aji. Aku baru saja pindah ke rumah baruku. Ini adalah rumah istriku yang bari saja aku nikahi. Kami tinggal di sini bersama Rekta, anak istriku dari pernikahannya yang pertama. Umurnya baru sebelas tahun. Dia adalah anak yang manis dan tidak nakal. Walau sebenarnya aku kurang akrab dengannya. Seolah dia selalu menjauh dariku. Mungkin dia tidak suka aku menikahi ibunya. Dia tidak mau punya ayah baru.
Hari ini istriku pergi ke luar kota. Dia meninggalkanku sendirian bersama Rekta. Aku mencoba untuk mendekatinya dan bermain dengannya. Namun dia tetap menjauhiku. Dia memilih sendirian. Mungkin dia tidak suka denganku.
Malam ini begitu dingin tidak seperti biasanya. Aku tertidur pulas dengan guling empuk yang kupeluk dan selimut tebal yang menghangatkan tubuhku. Kurasa ini adalah tidur paling nyaman yang pernah kurasakan.
Sampai suatu saat, aku mendengar suara geraman dari halaman belakang. Suara itu membuatku terbangun. Saat kubuka mataku, aku tidak dapat melihat apa-apa. Aku mencoba meraih sakelar lalu menyalakannya, namun tidak bisa. Aku heran, kenapa di kota sebesar ini masih ada pemadaman listrik.
Aku meraba-raba meja di samping tempat tidurku untuk mencari senter. "Aku tadi menaruhnya di sini" pikirku.
Setelah mencari-cari, akhirnya kutemukan senter itu. Kucoba menyalakannya, dan ternyata senter ini masih berfungsi. Namun cahayanya mulai meredup. Kupukul-pukul senter itu dengan tanganku hingga cahayanya terang kembali.
Aku tetap mendengar suara itu. Suaranya seperti seorang kakek-kakek yang menggeram. Kurasa aku harus melihatnya. Mungkin dia butuh pertolongan.
Aku keluar dari kamarku. Kulihat kamar Rekta belum tertutup. Kuarahkan senterku ke kamarnya. Sepertinya Rekta tidak ada di sana. Aku memasuki kamar itu lalu kucari dia di segala sudut ruangan. Dia benar-benar tidak ada di sini. Aku mulai takut.
"Rekta, di mana kamu?" Aku memanggil anak itu. Namun tidak ada tanda akan keberadaannya. Mungkin aku harus ke halaman belakang untuk melihat sumber suara itu.
Suara itu mulai terdengar jelas saat aku berjalan mendekatinya. Aku mulai ketakutan, tanganku gemetar memegang senter.
Aku mengintip dari jendela untuk melihat sumber suara itu. Dengan hati-hati, aku melirik ke arah halaman belakang.
Aku kaget ketika melihat ada seorang anak laki-laki di sana. Dia hanya mengenakan celana pendek. Suara itu datang dari mulut bocah itu. Dia memegang sebuah pisau di tangannya.
Muncul pertanyaan di benakku. Siapa dia? Apakah dia Rekta? Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia tidak menghadap ke arahku. Satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan itu adalah dengan mendekatinya lalu melihat wajahnya.
Dengan kaki yang masih bergetar karena ketakutan, aku memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendekatinya. Aku harus hati-hati. Aku tak mau dia melukaiku dengan pisau yang dipegangnya.
"Rekta, apa itu kau?" kataku.
Anak itu berbalik dan memperlihatkan wajahnya kepadaku. Dia adalah Rekta. Aku sangat kaget ketika dia menunjukkan wajahnya yang menyeramkan. Wajahnya begitu merah. Pembuluh darahnya terlihat di seluruh wajahnya sampai ke lehernya. Bola matanya putih semua. Bibirnya hitam kemerahan. Dia meringis dan meneteskan air liur dari mulutnya.
Karena kaget, aku tak sengaja menjatuhkan senterku. Senter itu membentur tanah sampai tidak dapat berfungsi lagi. Sekarang hanya cahaya bulan dan kilatan petir yang dapat menerangi halaman belakang.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.
"Apti.." Kata anak itu dengan suara menderik. Ketika dia mengucapkan kata itu, kepalaku langsung pusing. Telingaku berdengung. Kupegangi kepalaku dengan kedua tanganku.
"Kenapa? Mulai ingat sesuatu?" tanya anak itu.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanyaku.
"Aku sama seperti dirimu. Aku merasuki tubuh manusia"
"Kalau begitu keluar dan lepaskan dia"
"Rupanya kamu benar-benar lupa" kata anak itu.
"Apa maksudmu?"
"Aji sudah mati. Kau membunuhnya bersama ibunya"
"Aku tidak membunuh ibuku. Bukan aku yang membunuhnya"
"Coba ingat kembali. Kau merasuki tubuh seorang anak yang tak berdaya, lalu kau bunuh ibunya. Kamu pasti ingat itu, Apti"
"Tidak mungkin. Aku bukan Apti. Namaku Aji"
"Rupanya kau sudah membaur dengan dunia manusia. Kau lupa siapa dirimu sebenarnya. Coba lihat kaca itu" kata anak itu sambil menunjuk kaca jendela.
Aku memandang kaca itu. Saat kilatan petir menyambar, cahayanya merefleksi wajahku ke kaca itu seperti cermin. Aku melihat wajahku menyeramkan di kaca itu. Wajahku seperti anak itu.
"Itu adalah wajah aslimu"
"Tidak mungkin" kataku.
Aku takut dengan pisau yang dia pegang. Aku harus menyingkirkannya. Kubuat anak itu terus berbicara, lalu aku akan mendekatinya dan mengambil pisaunya.
"Apa maumu?" tanyaku.
"Keabadian. Hidup selamanya di tubuh manusia. Seperti dirimu"
"Aku tidak merasa abadi"
"Kau telah membunuh anak itu dan kau masih bisa mengendalikan tubuhnya. Tubuhnya tidak membusuk atau rusak. Bahkan tubuh itu masih bisa tumbuh seperti manusia normal. Namun pertumbuhan itu akan berhenti di usia empat puluh tahun. Itulah keabadian"
"Maksudmu aku tidak bisa mati? Lalu apa yang akan kau lakukan pada Rekta?"
Dia mengangkat pisaunya, lalu mengarahkan pada lehernya. Pisau itu mulai menyentuh kulitnya. Sedikit goresan dan keluar darah dari kulitnya. Darah itu mengalir sampai dada anak itu. Dia berkata "Aku akan membunuhnya. Seperti yang kau lakukan pada Aji"
Tidak.. Dia akan membunuh Rekta. Aku tidak boleh diam saja. Aku harus menyelamatkannya. Kurebut pisau itu, namun dia terlalu cepat. Dia malah menodongkan pisaunya kepadaku. Kupegang tangannya dan kudorong agar pisau itu tidak melukaiku. Kita berdua saling mendorong pisau itu.
Tiba-tiba dia menendangku sampai aku jatuh tersungkur di tanah yang basah. Dengan cepat, dia langsung melompat dan menginjak perutku. Aku teriak kesakitan. Dia mengangkat tinggi-tinggi pisau itu, lalu menusukkannya ke dadaku. Aku berteriak tak berdaya. Darahku muncrat dengan deras dan membuat dia basah dengan darahku. Dia menusukku sampai sepuluh kali.
"Jangan takut mati. Kamu abadi" katanya.
Kumuntahkan darahku ke wajahnya. Sekarang wajahnya menjadi lebih merah. Dia membersihkan darah yang mengotori wajahnya itu dengan tangannya.
"Kurasa sudah cukup. Sekarang waktunya kau mati" katanya.
Dia menusuk-nusuk leherku dan memenggalnya sampai putus. Darahku keluar deras dari potongan kepalaku dan leherku. Lalu dia sedikit menendang kepalaku sampai terguling beberapa meter. Darah yang kukeluarkan membuat tanah di halaman belakang menjadi berwarna merah.
Mataku masih terbuka. Aku masih dapat melihat. Mungkin dia benar. Aku abadi. Aku melihat tubuhku di sana. Terbujur kaku penuh dengan darah.
Aku melihat anak itu seperti melakukan sesuatu di sana. Sepertinya dia menggambar sesuatu tepat di tanah tepat di atas leherku. Seharusnya kepalaku ada di sana. Dia menanam pisau itu di sana. Dengan ujungnya yang tajam menghadap ke atas. Dia memegang-megang pisau itu, memastikan pisau itu tertanam kuat di tanah.
Lalu dia berdiri memandangi pisau itu. Dia berbalik badan dan memandangi bulan di langit. Dia maju beberapa langkah.
Dia menoleh ke arah potongan kepalaku dan tersenyum kepadaku. Dia menujukkan wajahnya yang menyeramkan. Dia memejamkan matanya. Wajah itu perlahan memudar. Rekta sudah kembali. Wajah menyeramkan itu sudah hilang.
Lalu dia menjatuhkan dirinya ke belakang. Gaya gravitasi menarik tubuhnya ke bawah. Pisau itu menusuk dan menembus dadanya. Darahnya muncrat ke mana-mana. Dia berteriak dengan suara aslinya. Tubuhnya kejang-kejang. Dia berusaha untuk melepaskan pisau itu. Namun dia tak bisa. Tubuhnya sudah tidak bergerak lagi. Teriakannya juga mulai hilang. Mungkin dia sudah mati.
Pandanganku mulai pudar. Semua menjadi gelap. Aku tidak bisa melihat. Yang bisa kulakukan hanya mendengar suara hujan yang semakin deras.
-
Kubuka mataku dan kulihat cahaya matahari yang terhalang kabut tipis. Ini sudah pagi. Cahaya itu menyilaukan mataku. Kuhalangi cahaya itu dengan tanganku. Aku sadar tubuhku telah kembali. Aku bangun dan memeriksa tubuhku. Aku tidak melihat bekas luka apa pun di tubuhku. Namun bajuku penuh dengan darah dan lumpur. Tanah dan rumput di halaman ini juga masih merah penuh darah yang bercampur dengan air hujan.
"Di mana Rekta?" tanyaku dalam hati. Aku masih melihat ada pisau yang tertancap di tanah. Pisau itu masih berdarah.
Sebaiknya aku mencari anak itu. Pintu rumah tidak tertutup, mungkin dia masuk ke sana. Aku masuk ke rumah itu. Keadaanku masih sangat kotor dengan lumpur dan darah. Aku meninggalkan jejak di lantai. Sebaiknya aku mandi dulu. Aku tidak mau mengotori rumahku. Dengan kaki jinjit, aku berjalan menuju kamar mandi.
Semua darah dan lumpur di tubuhku hanyut bersama air yang kusiramkan ke tebuhku. Dengan sabun dan sampo, tubuhku kembali bersih. Kukeringkan tubuhku dengan handuk. Lalu kukenakkan handuk itu ke tubuhku seperti sarung.
Kupandangi wajahku di dalam cermin yang terpasang di kamar mandi. Kulihat tidak ada luka sedikit pun di dada dan leherku.
"Siapa aku?" aku bertanya pada bayanganku sendiri di cermin.
"Keluarkan wajah aslimu Apti. Ayo keluarlah!"
Tidak ada sesuatu yang terjadi setelah aku meneriakkan kata-kata itu.
"Mungkin ini semua hanya mimpi" kataku dalam hati.
Aku melihat dari cermin, pintu kamar mandi terbuka dengan sendirinya. Aku melihat Rekta berdiri di luar kamar mandi. Dia berdiri menghadap ke arahku dengan kepala menghadap ke bawah. Tubuhnya diselimuti handuk dari pundak sampai kaki. Tangan kanannya memegang salah satu ujung handuk dan meletakkannya di dadanya. Seolah menyembunyikan sesuatu di balik handuk itu.
Anak itu berjalan ke kiri. Mungkin dia mau ke halaman belakang.
Saat aku berbalik, anak itu sudah menghilang. Mungkin dia hanya terlihat di cermin.
Aku pergi ke halaman belakang untuk menemui anak itu. Saat aku ada di sana, darah dan pisau itu sudah hilang. Jejakku di lantai yang kubuat tadi juga sudah tidak ada. Rekta juga tidak ada di sini. Padahal aku baru saja melihat dia berjalan ke sini. Apa yang sedang terjadi? Mungkinkah ini cuma mimpi? Tapi ini begitu nyata.
Aku mendengar suara ketukan pintu. Suara itu datang dari ruang tamu. Saat aku menuju ruang tamu, aku mendengar suara seorang perempuan yang sedang memanggil namaku. Itu pasti istriku. Kubuka pintu itu, lalu dia bertanya "Kenapa kamu kunci pintunya?"
"Maaf sayang. Aku baru mandi"
"Di mana Rekta?" tanya istriku.
"Aku.. aku.. aku mau cerita sesuatu ke kamu"
"Cerita apa?"
"A... ak... aku... aku... " kataku dengan gagap.
Belum sempat aku mengatakan kata sedikit pun, Rekta langsung datang. Dia masih mengenakan handuk itu. Seperti yang kulihat beberapa saat lalu.
Dia mendekati ibunya dan berkata "Ibu lama sekali"
"Maafkan ibu nak. Kemarin aku sangat sibuk. Kenapa kalian belum pakai baju? Kalian baru mandi bareng ya?" tanya istriku.
"Tidak" jawabku.
"Apa yang ada di tas itu?" tanya Rekta sambil menunjuk tas belanjaan yang dibawa ibunya.
"Ibu punya hadiah untukmu. Sekarang tutup matamu"
"Oke.."
Rekta menutup matanya. Dia tersenyum dan tak sabar ingin melihat hadiah yang diberikan oleh ibunya.
Istriku mengeluarkan sesuatu dari tas itu. Itu adalah sebuah kaos berwarna merah.
"Ini pasti cocok untuknya" kataku.
Mendengar aku berbicara, istriku langsung menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Sebuah isyarat yang artinya "Jangan berisik".
"Jangan mengintip sayang" kata istriku. Dia menunjukkan kaos itu ke depan Rakta yang masih menutup mata.
"Sekarang, buka matamu"
Rekta mulai membuka mata dan dia terlihat sangat gembira melihat hadiah yang diberikan oleh ibunya itu.
"Wow.. ini bagus sekali. Boleh aku pakai sekarang?" tanya Rekta.
"Tidak sayang. Aku mau kamu memakai itu di acara besok" kata istriku.
"Padahal aku sangat ingin memakainya"
"Sekarang aku ambilkan baju yang lain ya, kamu tunggu di sini" kata istriku. Dia menaruh semua barang yang dia bawa ke meja. Lalu dia pergi untuk mengambil baju untuk anaknya.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Sementara Rekta masih berdiri menunggu ibunya. Aku memandangi anak itu. Dia terlihat pucat. Setelah kulihat-lihat, aku sadar ada yang aneh dengannya. Dari tadi dia tidak pernah melepaskan tangannya dari dadanya. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dari handuk itu.
Tanpa basa basi, aku menarik handuk itu sampai jatuh ke lantai. Saat dia telanjang bulat, aku tidak melihat apapun di dadanya. Tidak ada luka atau bekas tusukan.
Dengan gerak refleks, dia langsung mengambil handuknya yang terjatuh lalu memakainya di tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan?" katanya.
"Maaf" kataku.
Lalu dia duduk di sampingku.
"Sekarang sudah jam delapan. Kamu tidak sekolah?" tanya Istriku yang sedang mencari sesuatu di lemari.
"Ini kan hari minggu" kata Rekta.
"Mungkin kamu harus banyak istirahat sayang" kataku pada istriku.
Tak lama kemudian, istriku berteriak seperti melihat sesuatu yang menakutkan.
"Aaaaa.... Darah apa ini?" teriak istriku.
Aku langsung berdiri dari dudukku. Aku ingin menemui istriku. Namun Rekta mengambil dan menggenggam tanganku dengan erat. Aku menoleh ke belakang untuk melihatnya. Aku sangat kaget ketika melihat wajahnya kembali menyeramkan.
Dia memandang ke arahku dan berkata "Semua ini bukan mimpi Apti"
Tamat
Comments
Post a Comment